Childhood days of Piedade Fernandes

The 1st of October is celebrated as the International Day of Older Persons. Older people being senior in age are our link to the past.They are our daiz (heritage) as it is through them that we get to…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Get To Know

Ian orangnya baik.

Kalimat seperti itulah yang langsung terlintas di benak Gigi saat pertama bertemu dengan Si Teman Baru, Keanu Daksa Dirgantara—yang awalnya ia kira bernama Brian something, atau apalah yang memang memiliki kata Ian di dalamnya.

If you pronounce it in English, Ean is also Ian!” Katanya.

Ian adalah orang baik yang sangat bisa dijadikan teman baik, lengkap Gigi.

Cara Ian menyapa Gigi, caranya menyambut Gigi dengan sangat ramah, ia bahkan membelikan gadis yang baru saja mendarat itu segelas kopi. Caranya berbicara dan membantu Gigi yang kesusahan dengan barang-barangnya—meskipun Gigi paham semua itu adalah basic manner yang memang seharusnya Ian lakukan pada sesama, hal-hal itu cukup membuatnya lega.

Setidaknya, Gigi tau jika Reyner menitipkannya kepada orang baik yang tahu betul cara memperlakukan orang lain di sekitarnya.

So you’re the owner of Edelweiss Creative Space, right? Bang Reyner sering banget cerita.”

No, the owner is actually Kakang—maksudnya kakak gue, Reyner. Gue lebih ke founder.”

Ian menganggukan kepalanya paham dengan mata yang sama sekali tidak lepas dari jalanan di depannya. Tepat di samping lelaki itu, Gigi tak henti memandang takjub ke arah luar jendela mobil. Menikmati Wina dan keindahannya, sambil sesekali bertukar cerita dengan Ian, Si Teman Baru.

“Edelweiss tuh awalnya cuma sanggar lukis, lagi, Yan. Gue doang mentornya.” Jelas Gigi. “Terus waktu Kakang balik ke Indonesia dan bangun studio sendiri, dia ngusulin buat ambil alih dan ngembangin Edelweiss supaya gak jadi sanggar lukis doang. Awalnya sih berkedok, biar dia nanti bisa nyaring anak-anak berbakat yang kursus di Edelweiss buat dia debutin. Terus karena Athena—adik bungsu gue juga kebetulan professional dancer, jadilah Edelweiss yang sekarang. Lengkap banget, semuaya ada.” Tuturnya dengan sumringah.

Banyak orang pasti pernah perkataan jika seseorang akan sangat terlihat antusias menceritakan apa yang mereka sukai, kan? Karena saat ini, semua itu tergambar jelas di mata Gigi—tidak, tak hanya matanya, bahkan suaranya pun terdengar sangat antusias. Membuat Ian bahkan mengalihkan sebentar atensinya dari jalanan untuk melihat wajah gadis di sampingnya.

Gigi jelas sangat menyukai Edelweiss.

“Lo bertiga keren banget, gue bilang. Semuanya seniman, sama-sama berbakat di bidang masing-masing, percaya sama kemampuan satu sama lain. Kerja sama sampe Edelweiss sekarang segede ini. Keren banget.”

Gadis itu tersenyum semakin lebar, setuju dengan apa yang baru saja Ian tuturkan.

Iya. Jika dipikir kembali, ketiganya sangat mengagumkan sampai di titik ini.

Thank you loh, Ian.”

“Lah, buat apa?”

Your words hehe.”

Karena jujur, Gigi tidak bisa memungkiri jika kadang kalimat baik yang tertutur dari orang kadang memberikan sedikit rasa senang baginya. Apalagi jika itu menyangkut dirinya, Reyner, Athena, dan Edelweiss.

Sedang Ian, diam-diam juga mengukir senyum di wajahnya. Tipis, hampir tidak terlihat. So this is how it feels when someone appreciate you by only small thing you did? It feels… nice?

“Kalo lo, gimana Yan?”

Ian mengerutkan keningnya. “Apanya?”

“Di sini.. lo ngapain aja?”

“Tebak, deh!”

Gigi memasang wajah berpikir untuk sesaat, satu telunjuknya ia ketuk-ketukkan ke dagu mungilnya.

“Masih berhubungan sama musik gak, sih?” Jawab gadis itu akhirnya yang langsung mendapat anggukan dari yang ditanya.

“Sebagian besar kegiatan gue gak jauh beda sama abang lo lah, Gi. Di studio, composing, nulis lirik, gitu-gitu doang kebanyakan. Tapi gue juga ada direkrut sama beberapa penyanyi buat jadi additional bassist player mereka buat tour. Jadi ya gitu, sih. Kalo gak di studio bikin lagu, ya manggung.”

“Oh, sama kadang ngisi di Jazz Bar. Kalo mood atau lagi dibutuhin doang sih, misalnya lagi kosong yang main gitu, soalnya tempatnya juga punya temen. Orang Indonesia juga dia, ntar deh gue kenalin!” Lanjut Ian sama antusiasnya dengan saat Gigi menceritakan Edelweiss-nya.

Gigi, gadis itu masih termangu takjub. Meskipun sesama seniman, ntah mengapa rutinitas yang baru saja Ian beberkan terdengar sangat menarik untuk dijalani. Bagian menulis lagu di studio memang tak asing bagi Gigi karena itu juga cara Reyner menghabiskan sebagian besar waktunya. Namun jika berbicara tentang tur, itu jelas sesuatu yang baru bagi Gigi. Ia bahkan tidak bisa membayangkan akan seseru apa rasanya pergi tur dari panggung ke panggung bersama orang-orang hebat, memainkan sesuatu yang sangat dicintai, bertemu orang baru dan bertukar energi baru. Tidakkah itu terdengar keren?

Kaya… rockstar?

“Di Jazz Bar lo main bass juga?”

Ian menggeleng, terkekeh pelan. “Gue lebih sering nyanyi sih, kalo di bar.” Jawabnya yang sukses membuat Gigi makin terbelalak.

“LO NYANYI JUGA!?”

Tak lantas menjawab, Ian kini malah terkikik geli melihat reaksi Gigi yang sebegitunya. Kenapa sih, Gi?

“Kok gak sekalian debut jadi penyanyi aja?”

“Bilang abang lo buat orbitin gue dong, Gi! Gue pertimbangin deh kalo abang lo producer-nya.” Candanya.

Lagi, Gigi memasang wajah berpikirnya sekali lagi. Sama, masih dengan satu jari telunjuk diketukan pada dagunya.

“Mesti gue tes dulu sih, skill lo nyampe mana.”

“Sialan, lo.”

Lalu tertawa. Untuk kurang lebih satu menit, mobil milik Ian hanya terisi gelak tawa keduanya. Dibarengi dengan suara deru mesin yang menyelinap sesekali. Tanpa musik. Hanya ada suara mereka.

Teman baru yang sedang berusaha mengenal satu sama lain.

“Lo rencananya berapa lama di sini, Gi?”

Gigi mengedikkan bahu pelan. Benar-benar belum tahu akan rencananya di kota ini.

Berapa lama, ya?

“Sampe gue ngerasa urusan gue kelar aja sih Yan, kayaknya.”

Ian mengerutkan sebelah alisnya. “Gue kira lo kesini emang mau liburan doang?”

Mampus.

Gigi hanya mampu tersenyum canggung. Lelaki di sampingnya ini jelas tidak tau apa yang membuat Gigi meninggalkan Bandung dan menetap untuk sementara di Wina.

Lo juga kenapa jawab gitu sih, Gi?

“Itu.. apa…” kalimatnya mengambang. “Itu.. kebetulan juga gue lagi nyari inspirasi buat ngelukis. Iya, inspirasi! Bandung udah sumpek banget soalnya.” Alasannya, yang syukurnya hanya diangguki oleh Ian, tanda dirinya paham.

Tapi sayang hanya bertahan beberapa detik.

“Lo gak bawa alat lukis, kan? Gue tau toko alat-alat buat lukis di sini. Ntar gue anter, deh!”

Mampus.

Bagaimana caranya Gigi memberi tahu Ian tentang hubungannya dan alat lukis akhir-akhir ini tanpa memberi tahu hal itu?

107.

Ian dan Gigi akhirnya sampai di depan unit apartemen nomor 107, unit milik Reyner, kakak kandung Gigi yang juga peninggalan satu-satunya dari ibu mereka.

Sorry gue gak bisa bantuin lo beres-beres ya Gi, gue harus ke bar.”

Ntah sudah berapa kali Ian mengucapkan hal yang sama pada Gigi. Maaf karena tidak bisa membantu Gigi membereskan barangnya, karena ia ada urusan yang cukup mendesak. Tadi, temannya yang ternyata bernama Dave, pemilik Jazz Bar tempat Ian sering menunjukan kebolehan menyanyinya menghubungi Ian untuk segera datang ke bar. Tidak ada yang mengisi live music malam hari ini, katanya.

“Udah berapa kali gue bilang santai aja, Yan. Beresin barang segini doang mah cetek.”

Ian tersenyum canggung, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Gak enak gue.”

“Enakin aja, udah. Sana pergi!”

“Dih, ngusir?”

Gigi tergelak. “Ya lagian, dari tadi gak enakan mulu. Temen lo juga nungguin kali, kasian!”

Ah, benar juga. Dave, bocah itu pasti sudah menunggu.

“Lain kali gue ikut ke bar, ya!”

Ian mengangguk setuju. Mulai menjauh dan melambaikan tangannya ke arah Gigi.

“Dah, kalo butuh apa-apa langsung hubungin gue!”

Gigi hanya kembali tergelak dan menganggukan kepalanya mengerti. Sambil mengibaskan tangannya berulang kali, mengisyaratkan Ian untuk cepat pergi.

Hingga di lorong itu hanya tinggal dirinya seorang.

Asing lagi, rasanya.

Tempat baru lagi yang dijejakinya.

Gigi perlahan membuka pintu apartemen, sambil menggeret kopernya mendekat.

You got this, Brigitte.” bisiknya seraya melangkahkan kaki masuk.

Add a comment

Related posts:

Safety Is A Journey

Technology is advancing at a rapid rate — it changes almost daily. Staying proficient to meet the needs of tomorrow’s workforce is not easy, but it is important for each aviation maintenance…